Unforgettable Memories I
Nama saya Anggi. Saya bekerja sebagai manager
di salah satu perusahaan multinational yang cukup terkenal di
Indonesia. Sudah lama saya tertarik untuk menceritakan pengalaman
pribadi saya yang terjadi kira-kira 7 tahun yang lalu di situs ini.
Tapi karena kesibukan saya di kantor yang akhirnya baru memberikan
kesempatan pada saya untuk menulis sekarang ini.
Saya memang bukan pengagum sesama wanita yang sejati, karena saya
juga menyukai pria. Dan kejadian ini adalah yang pertama yang saya
rasakan dan saya lakukan selama 2 tahun, dimana wanita ini benar-benar
telah membuat saya jatuh cinta dengan sesama jenis. Dan cinta itu masih
saya rasakan sampai sekarang, sekalipun kami sudah berpisah 5 tahun
yang lalu tanpa kami pernah bertemu lagi. Dia bidadari pertama yang
pernah saya jumpai dan membuat saya bertekuk lutut dan tidak pernah
dapat berhenti untuk mencintainya.
Kejadiannya berawal 7 tahun yang lalu ketika saya masih menjalani
kuliah di negara kangguru, Australia. Waktu itu saya sudah ada di tahun
kedua kuliah saya, yang berarti saya hanya tinggal menyelesaikan
setahun lagi untuk mendapat gelar Sarjana. Tapi saya sendiri sudah
tinggal di kota Sydney lebih dari 4 tahun sampai saya bertemu Cindy di
tahun kedua kuliah saya.
Cindy adalah pendatang baru dari Jakarta waktu itu. Cindy baru
menyelesaikan pendidikan SMA-nya di Jakarta dan langsung ke Sydney
untuk meneruskan kuliahnya. Karena jauh terpautnya usia kami, yaitu 9
tahun, maka kami berdua pun tidak pernah menyangka bahwa kami akan
dapat saling tertarik dan jatuh cinta. Apalagi cinta sesama jenis ini
belum pernah kami rasakan dan kami lakukan sebelumnya.
Terlebih lagi, saya telah mempunyai pacar seorang pria yang sangat
tampan dan pinta (berdasarkan kenyataan dan menurut pendapat semua
teman-teman dan juga keluarga saya). Ketampanan pacar saya terbukti
dengan banyaknya teman-teman wanitanya, baik orang Indonesia ataupun
bule-bule Australia yang mengutarakan langsung keinginan mereka untuk
menjadi pacar Rico (bukan nama sebenarnya).
Kami memang tinggal berlainan kota. Saya kuliah di Sydney,
sedangkan Rico kuliah di kota Canberra. Kami bertemu minimal sekali
dalam sebulan dan biasanya Rico selalu menginap di apartemen saya kalau
dia sedang mengunjungi saya di Sydney. Saya sangat mencintai Rico
karena dia adalah cinta pertama saya dan pada Rico lah saya berikan
kegadisan saya. Saya pernah berpikir bahwa saya tidak mungkin dapat
hidup tanpa Rico.
Banyak pria yang saya temui di Australia yang ingin menjadi pacar
saya termasuk orang-orang bule di sana, tapi waktu itu hati dan cinta
saya hanya untuk Rico. Tapi setelah Cindy muncul dalam kehidupan saya,
semuanya jadi berubah total dan saya baru dapat merasakan apa yang
dinamakan mencintai dan dicintai, dimana segalanya begitu indah untuk
dijalani dan dirasakan.
Cindy sebenarnya adalah teman sekelas adik saya. Adik saya ini
datang menyusul saya ke Sydney juga untuk melanjutkan kuliah. Setelah 4
tahun saya hidup sendiri atau sharing apartemen bersama orang bule
(baik sesama pelajar atau saya tinggal bersama keluarga Australia di
sana), akhirnya saya memutuskan untuk menyewa apartemen sendiri bersama
adik saya.
Kami berdua menyewa apartemen dengan 2 kamar tidur dan 1 kamar
mandi. Kamar tidur saya jauh lebih besar dibandingkan kamar tidur adik
saya, sehingga siapapun yang ingin menginap di apartemen kami akan
tidur di kamar saya, terutama kalau jumlahnya lebih dari 2 orang. Tapi
kalau hanya 2 orang biasanya akan kami bagi menjadi 2, yaitu 1 orang
tidur bersama adik saya dan 1 orang lagi bersama saya, sehingga kami
tidak memerlukan kasur tambahan.
Karena kami hanya hidup berdua di negara orang, maka teman-teman
saya adalah teman adik saya juga dan begitu juga sebaliknya. Terus
terang, saya tidak ingin adik saya terjerumus dengan pergaulan yang
tidak baik di sana. Oleh karena itu, dengan cara yang halus saya
mendekatkan diri pada teman-temannya dan juga mengenalkan dia pada
teman-teman saya.
Setelah saya tinggal berdua dengan adik saya ini, otomatis
pertemuan saya dengan Rico menjadi lebih jarang, karena Rico tidak
dapat lagi menginap di rumah saya. Kalaupun Rico ingin bertemu saya
lebih lama dari sekedar mengobrol, biasanya kami menginap di hotel.
Saya tidak ingin memberi contoh yang jelek kepada adik saya dengan
membiasakan pacar-pacar kami menginap di apartemen kami. Disamping itu,
Rico pun sibuk dengan pembuatan skripsinya karena tahun itu adalah
tahun terakhirnya di Australia sebelum akhirnya dia lulus kuliah dan
pulang ke Jakarta setahun lebih awal dari saya sendiri. Pada saat
itulah saya berkenalan dengan Cindy.
Waktu itu udara di Sydney cukup dingin karena memang pertengahan
'winter'. Dengan memakai sweater dan jaket, saya turun dari bis dan
berlari kecil menuju rumah. Bayangan segelas 'hot chocolate' sudah
menari-nari di pelupuk mata saya dan sudah terasa di tenggorokan saya
nikmatnya. Membayangkan hal itu, saya benar-benar ingin cepat sampai di
apartemen, karena udara di luar makin bertambah dingin.
Hari itu cukup melelahkan karena banyaknya tugas kuliah yang harus
saya kerjakan di perpustakaan kampus. Saya sendiri baru meninggalkan
perputakaan sekitar pukul 9 malam, waktu pegawai di sana mengingatkan
bahwa mereka akan tutup. Begitu sampai di depan gedung apartemen, saya
melihat lampu apartemen saya sudah terang, menandakan bahwa adik saya
juga sudah pulang. Kami berdua memang sering pulang malam atau malah
menginap di rumah teman karena banyaknya tugas-tugas kuliah yang harus
kami kerjakan secara berkelompok.
Tapi nampaknya malam itu adik saya membawa beberapa temannya ke
rumah. Apartemen saya ada di lantai dasar, sehingga suara dan ketawa
mereka dapat terdengar dari luar. Tentu saja dalam bahasa Indonesia.
Tapi suara mereka langsung berhenti ketika saya memutar kunci dan
membuka pintu apartemen. Dan memang benar dugaan saya kalau saya
kedatangan 2 orang tamu, yaitu teman-teman adik saya.
Mereka terlihat langsung menjaga prilaku mereka ketika mereka tahu
kalau kakak dari si empunya apartemen itu sudah pulang dan pastinya
dalam keadaan sangat lelah karena memang jam sudah menunjukkan pukul 10
malam.
Seperti yang lainnya, mereka memberi salam dengan panggilan 'Mbak'
ke saya dan saya balas dengan anggukan dan senyuman. Bayangan 'hot
chocolate' masih mendominasi pikiran saya malam itu. Lalu saya
cepat-cepat berganti pakaian rumah (tentunya masih memakai sweater..!)
dan pergi ke dapur untuk merealisasikan impian saya itu.
15 menit kemudian saya sudah bergabung dengan mereka di ruang tamu
yang juga merangkap sebagai ruang TV atau keluarga. Baru saya sadari
bahwa tamu-tamu adik saya ini belum pernah datang sebelumnya, dan salah
satu dari mereka telah menarik perhatian saya dan yang akhirnya saya
tahu kalau namanya Cindy. Saya sangat menyukai caranya dia berbicara
atau ketika sedang bercerita. Tapi dari semua itu, mata Cindy lah yang
membuat saya ingin mengenalnya lebih dekat.
Saya memang tidak pandai membaca pandangan mata, tapi entah kenapa
setiap kami mengobrol dan tidak sengaja bertatapan, ada perasaan yang
lain dalam hati saya. Entah apa, tapi yang pasti makin kami sering
bertemu dan semakin saya mengenalnya, saya semakin menyayanginya.
Ketidakhadiran Rico di akhir pekan tidak lagi menjadi masalah bagi
saya. Padahal biasanya saya akan uring-uringan jika Rico bilang tidak
dapat datang mengunjungi saya. Biasanya Rico harus merayu saya supaya
saya mau mengerti dan tidak marah berkepanjangan. Entah kenapa, sejak
Cindy sering menginap di rumah, saya cukup melepas rindu saya pada Rico
melalui telpon. Mungkin karena kesibukannya dalam menyelesaikan
skripsinya Rico tidak merasa curiga atau mempermasalahkan perubahan
sikap saya.
Sekalipun kami makin jarang bertemu, saya tetap menghubunginya
secara rutin lewat telpon. Hubungan saya sendiri dengan Cindy semakin
dekat dan saya juga mulai merasakan perhatiannya pada saya. Tapi hanya
sebatas itu, karena kami berdua memang sama-sama tidak berani
memulainya. Saya rasa, pandangan mata kami yang lebih sering berbicara
kalau sebenarnya kami saling mencintai. Tapi mungkin perasaan saya pada
Cindy terlalu besar sehingga saya tidak mampu untuk menutupinya lebih
jauh.
Setiap kami bersentuhan lengan, hati saya langsung berdebar-debar
dan mengharapkan lebih dari itu. Oh ya, Cindy selalu tidur bersama saya
setiap dia menginap di rumah. Dia selalu datang berdua dengan teman
satu apartemennya dan temannya tidur di kamar adik saya. Tapi sejauh
itu tidak ada yang kami lakukan selain mengobrol sebelum tidur atau
setelah bangun tidur. Sampai pada suatu hari, saya merasa cemburu
padanya waktu kami pergi beramai-ramai dan Cindy membawa 2 teman kuliah
prianya yang berasal dari Korea.
Sepanjang jalan dia bersenda gurau bersama teman Korea-nya itu dan
seakan-akan saya tidak dihiraukannya. Saya benar-benar sedih dan marah,
tapi saya tahu kalau saya tidak punya hak untuk marah dan akhirnya saya
hanya dapat diam sepanjang perjalanan kami sampai kami pulang ke rumah
saya. Cindy malam itu juga menginap di rumah seperti biasanya. Tapi
malam itu, begitu kami sampai saya langsung mandi dan masuk ke kamar
untuk tidur. Saya tidak mempunyai keinginan lagi untuk mengobrol karena
saya masih merasa cemburu yang teramat sangat.
Esok paginya saya bangun agak siang, sekitar pukul 9 dan saya yakin
adik saya sudah pergi kuliah bersama teman Cindy. Tapi Cindy masih ada
di samping saya ketika saya bangun. Dia memiringkan badannya dan
menghadap saya yang masih tidur telentang. Saya cukup kaget ketika
terbangun dan Cindy sedang memperhatikan saya. Dia memberikan senyum
tercantiknya untuk saya pagi itu. Ingin sekali rasanya saya mencium dan
memeluknya. Tapi itu tidak mungkin saya lakukan. Paling tidak, saya
belum berani melakukannya.
Melihat dia tersenyum sambil menatap saya, langsung saya tanyakan
alasannya, "Ada apa? Kenapa kamu senyum-senyum kaya gitu? Jam berapa
kamu bangun?"
"Nothing. Seneng aja ngeliat kamu tidur? Saya ngga bisa tidur semaleman."
"Kenapa ngga bisa tidur? Abis dapat telpon dari Jakarta lagi? Mama sama Papa kamu bertengkar lagi?"
Saya bisa sangat dekat dengan Cindy karena Cindy banyak bercerita
tentang keluarganya, juga tentang orang tuanya yang sering bertengkar.
Cindy anak tertua dari 2 bersaudara. Adiknya laki-laki.
Cindy menggeleng.
"Trus, kenapa ngga bisa tidur?" tanya saya sambil saya menatap
balik ke Cindy dan dia terdiam beberapa saat sebelum berkata-kata yang
membuat saya sangat terkejut tapi juga sangat senang.
"Hhmm.. kamu marah yach sama saya?"
Sambil menanyakan hal ini Cindy menundukkan kepalanya tanpa berani
menatap mata saya. Posisi badan kami belum berubah, dimana badan Cindy
masih miring menghadap ke saya yang masih tidur telentang.
Pelan-pelan saya mengangkat dagu Cindy sehingga kami bertatapan dan
saya balik bertanya, "Dari mana kamu tau kalau saya marah sama kamu?"
"Kamu ngediemin saya dari kemaren waktu kita jalan-jalan. Kamu
ngga ngajak ngomong saya sedikit pun. Begitu pulang pun kamu langsung
tidur abis mandi. Biasanya kita selalu punya waktu untuk ngobrol. Kamu
cemburu yach sama temen-temen Korea saya itu?"
Saya benar-benar kaget dengan kalimat Cindy yang terakhir, tapi
saya pikir ini saatnya saya harus berkata jujur pada Cindy. Tapi saya
mulai pengakuan saya dengan anggukan kepala untuk membenarkan bahwa
memang saya cemburu, sekaligus melihat reaksi dan jawaban dari Cindy.
Dan jawabannya benar-benar membuat saya bahagia.
"Saya khan cuman berteman sama mereka. Saya ngga punya hubungan
apa-apa sama mereka. Kemarin itu mereka cuman minta diceritain tentang
pulai Bali dan Jakarta dan saya bilang turis di Bali cantik-cantik,
rugi kalau mereka ngga pernah datang ke Bali. Kamu jangan cemburu buta
gitu dong dan kamu tuch ngga perlu cemburu sama siapa pun. Saya yang
seharusnya cemburu kalau ngeliat kamu lagi ngobrol di telpon sama Rico.
Tapi saya tau kalau saya ngga punya hak untuk marah."
Saya benar-benar kaget tapi juga bahagia mendengar semua pengakuan
Cindy dan saya benar-benar yakin kalau cinta saya tidak bertepuk
sebelah tangan. Saya mulai memberanikan diri untuk menariknya dalam
pelukan saya dan Cindy tidak menolaknya. Sambil berada di pelukan saya,
berbagai pertanyaan saya tanyakan pada Cindy.
Bersambung ke bagian 02
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2175